Jumat, 20 Maret 2009

SEKILAS TENTANG AJARAN DEMOKRASI


Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan negara di Eropah dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/negara berdasarkan Hukum/Kedaulatan Tuhan. Penyelewengan paham Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan negara-negara di Eropah mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana. Ditengah situasi kegelapan yang melanda Eropah inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan. Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).

Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini mengatakan bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat. Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi. Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kenyataan kehidupan umat manusia. Adalah bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat.

Benturan yang tidak terdamaikan antara Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang bersifat mutlak dan langsung) dengan kenyataan empirik kehidupan manusia (yang sedikit memerintah yang banyak), ditambah lagi sebagai akibat perkembangan lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup wilayah luas serta perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya dan tingkat kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang terpenting dan merupakan awal menuju kearah demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai kini, adalah dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad XIII (1265).

Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan negara.

Untuk menentukan siapakah individu-individu rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :
1. Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;
2. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat pemilih.

Kemudian hari tata-cara dan model Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang menjadi model-model pemilihan yang bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri di atas.
Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan dari penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.

Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi perwakilan :
- Sumbernya:Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad XIX)
- Sejarahnya: Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.
- Tujuannya: Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya.
- Mekanismenya: Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik.
- Sarananya: Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai.
- Pembedanya: Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu : (1). sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2). sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
- Mottonya: Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.

Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi berkembang dari waktu ke waktu dan berkembang sesuai pula dengan kebutuhan suatu negara tertentu, sejalan dengan ucapkan Mac Iver , “..apa yang kita sebut demokrasi adalah hanya sebuah permulaan dan bukan sesuatu yang bersifat final….”. Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan.

Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat pada masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Namun semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu :
1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat ;
2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum
4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.

Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.

Diantara ke-4 prinsip Model Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara Mayoritas yang paling banyak mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam berbagai aspek, terutama dalam hal aspek kualitas intelektualitasnya, sehingga keputusan yang diambil dengan suara mayoritas (kuantitatif) sama sekali tidak menjamin keputusan itu adalah baik atau benar.

2. Prinsip Suara Mayoritas bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Agama Islam, dimana pada Kitab Suci Al Qur’an terdapat cukup banyak ayat-ayat yang bernada negatif atau bahkan mengecam prinsip suara terbanyak ini, seperti sebagian contoh ayat-ayat Al Qur’an dibawah ini :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al Anam [6]: 116)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. (QS. Asy-Syu’ara [26]: 103)

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.(QS. Al A’raaf [7]: 102)

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS. Al A’raaf [7]: 131)


Sumber :

Yara, M. 2006. Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia. Makalah Pembicara Panel Pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”. Komisi Kebudayaan Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Jakarta.

http://markaskio.files.wordpress.com/2007/06/mencari_model_demokrasi_ala_indonesia.doc

Sumber Gambar :
http://i36.tinypic.com/beg3km.jpg

Senin, 09 Maret 2009

TINJAUAN PEMILU DI INDONESIA DARI MASA KE MASA




The ballot is stronger than the bullet - Kekuatan Pemilu lebih dahsyat daripada peluru. (Abraham Lincoln)

KabarIndonesia - Sejak awal berdirinya negara Indonesia enam puluh tiga tahun silam, keinginan meneguhkan demokrasi sebagai bingkai pelakasanaan pemerintahan telah diretas. Suatu negara dipandang demokratis bilamana memiliki setidaknya tiga unsur.

Pertama, UU yang menjamin hak-hak politik warga negara. Kedua, pers yang bebas. Ketiga, Pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Banyak pengamat yang menilai bahwa kehidupan demokrastis di Indonesia dimulai semenjak kaum muda mengambil alih kedudukan Mr. Kasman Singodimedjo sebagai ketua KNIP, dengan menempatkan Sutan Sjahrir sebagai pengganti. Proses demokratisasi diawali dengan keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X, Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, hingga pergantian sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer 15 Nopember 1945.

Sutan Sjahrir yang memangku jabatan perdana menteri, mengagendakan pelaksanaan Pemilu bulan Januari 1946. Namun agenda tersebut hingga jatuhnya kabinet Sajhir 1947 tidak pernah terwujud. Menurut analisa WF. Wertheim, “Adalah kekhawatiran Sutan Sjahrir sebagai pemimpin Partai Sosialis memiliki prediksi bila pemilu dilaksanakan tahun tersebut, Masyumi yang menjadi satu-satunya wadah organisasi Islam dengan jumlah anggota yang besar akan memperoleh 80 suara (WF. Werthem, 1971)." Agenda pemilu tertunda hingga berlangsungnya pemerintahan United State of Indonesia (USI) 1949-1950.

Pemilu Masa Demokrasi Liberal
Kabinet Natsir, merupakan kabinet pertama di masa demokrasi liberal, kendati pun disebut sebagai Kabinet Akhli (Zaken Cabinet). Namun tidak mampu melaksanakan pemilu. Begitu pula tiga kebinet setelahnya, yakni Kabinet Sukiman, Wilopo dan Ali Sastroamidjojo. Agenda pemilu yang telah tertunda sepuluh tahun baru dapat dilaksanakan masa kabinet Burhanuddin Harahap. yang mengacu pada UUD Sementara (UUD S) pasal 1 ayat 2.

Pada Pemilu pertama ini memiliki dua agenda, pertama memilih wakil rakyat di DPR tanggal 29 Sepetember dan kedua memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Proses dan hasil pemilu pertama ini memunculkan beberapa kejutan dan kekecewaan.

Jumlah partai bertambah banyak dari 20 menjadi 28. Tetapi hanya empat partai yang mendapat kursi di atas yang siginifikan, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI. Perolehan 34 kursi PKI di parlemen mengejutkan banyak pihak, terutama bila dihubungkan dengan peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Harapan akan terciptanya suasana yang mengindikasikan konstelasi baru dalam tatanan pemerintahah. Begitu pula dengan hasil pemilihan Majelis Konstituante, di mana hingga tahun 1959, terbaca dengan jelas Majelis Konstitunate tidak berhasil membuat draft rancangan UUD baru pengganti UUDS.

Pemilu Masa Demokrasi Pancasila

Munculnya pemerintahan Orde Baru 1966, telah menumbuhkan harapan tinggi akan berlangsungnya tatanan kehidupan negara dan pemerintahan yang jauh lebih demokratis dari sebelumnya. Secara perlahan harapan tersebut berjalan surut. Demokrasi Pancasila yang dibangun, pada kenyatan telah mematikan tiga unsur demokrasi.

Pertama, UUD 45 dan Pancasila diposisikan sebagai sesuatu yang disakralkan. Kedua, Pers mengalami pengekangan secara sistematis. Masa Orde Baru bisa dikatakan “mimpi buruk” (night mare) bagi media massa, karena identik dengan pembredelan dan tindakan refresif yang berlebihan. Pelaksanaan pemilu, yang berlangsung selama enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), masyarakat dengan mudah menempatkan Golkar sebagai pemenang, sementara dua partai peserta pemilu (PPP dan PDI), keberadaannya di tengah perhelatan tersebut, tidak lebih dari sekedar pelengkap yang telah direkayasa.

Tidaklah keliru bilamana Bill Liddle mengungkapkan, ”Pemilu yang dilaksanakan sepanjang rezim Orde Baru, lebih merupakan selebresi demokrasi yang artificial, tidak menyentuh substansinya. Bahkan untuk sebuah demokrasi prosedural pun jauh dari memenuhi persyaratan, karena pemilu yang berlangsung secara tidak fair, penuh kecurangan, pemaksaan kehendak bahkan intimidasi.“ (R. William Liddle, 2008).

Penyimpangan tiga unsur kehidupan demokrasi, yang bermuara pada maraknya KKN, telah melemahkan kewibawaan pemerintah, sekaligus hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Munculnya krisis moneter regional, telah menjadi pemicu munculnya gerakan reformasi, yang berujung pada anti klimaks pemerintah Orde Baru dengan tidak hormat.

Pemilu di Masa Reformasi

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.


Hantu Pemilu

Tidak ada satu perhelatan tanpa adanya sesuatu yang ditakutkan (hantu). Dalam pemilu di Indonesia apa yang menjadi hantu dan menghantui banyak pihak saat hal tersebut dilakukan. Dalam pemilu masa demokrasi liberal, banyak pihak dihantui rasa takut. Ketakutan yang dimaksud adalah terjadinya gangguan keamanan berkaitan dengan DI/TII dan gerakan sparatisme lainnya.

Namun hal tersebut tidak terjadi. Sementara dalam pemilu masa Orde Baru, kekhawairan menghantui pihak pemerintah, yakni bertambahnya suara dari dua parpol (PPP dan PDI) dan diresponnya seruan Golput. Sedangkan Pemilu era Reformasi terutama pemilu 2009, yang hanya menyisakan waktu dalam hitungan hari, dihantui oleh sejumlah permasalahan yang sangat tidak sederhana.

Adapun ketakutan tersebut antara lain, ketidaksiapan KPU pusat dan daerah, menurunnya partisipasi masyarakat akibat adanya seruan Golput, terjadinya bencana alam, dan munculnya terorisme sekaligus munculnya ketidakpuasaan dari kontestan pemilu baik proses maupun hasil. Kendati pun demikian, kita berharap semoga kekhawatiran yang dimungkinkan menghantui banyak pihak dapat diminimalisir.

Apa yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln di atas, memiliki dua sisi yang akan menjadi tolak ukur kekinian kehidupan demokrasi khususnya di Indonesia. Pertama, jika pemilu sukses, akan makin mematangkan hidup dan kehidupan demokrasi. Kedua, jika Pemilu gagal, mengindikasikan bahwa gerakan reformasi politik menuju pada gelombang surut, sekaligus gagalannya bangsa Indonesia memaknai demokrasi. (*)

Sumber :
Iwan R Jayasetiawan
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
www.kabarindonesia.com
09 Maret 2009

Sumber Gambar: http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1)%20Pemilu/4)%20Pemilu%20tahun%202009/01.%20Gambar%20Bendera%20Peserta%20Partai%20Politik%202009.JPG

FORMAT BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA


Federal
Benarkah format bentuk negara kesatuan yang dirumuskan para founding fathers kita di awal kemerdekaan itu sudah final? Padahal bentuk negara tandingannya yakni bentuk negara federal mendapat tempat dan diskursus publik yang tidak fair. Benturan wacana di masyarakat bahwa bentuk negara kesatuan yang dianggap menyatukan bangsa Indonesia, sedangkan bentuk negara federal dianggap membagi-bagi/memecah belah bangsa. Kemudian dengan alasan yang dianggap cukup kuat di masa awal kemerdekaan yakni mengkonsolidasikan kekuasaan ke pusat, wacana negara kesatuan memenangkan tempat untuk digunakan sebagai format bentuk negara.

Akan tetapi, layakkah kita menjustifikasi bahwa negara federal itu memecah belah bangsa? Memang bentuk federal akan membagi Indonesia menjadi negara-negara bagian, dan negara federal, tetapi tidak serta-merta memecah belah bangsa. Sebenarnya anggapan federal akan memecah belah bangsa ini muncul karena yang mensosialisasikan ide federasi itu adalah Van Mook yang orang Belanda di tahun 1949. Penerapan ini terkait dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Sedangkan Indonesia masih secara mencurigai dan menganggap buruk Belanda – termasuk gagasan Belanda. Ada indikasi bahwa spirit anti-belanda yang cukup kuat di Indonesia, barangkali hingga sekarang. Lain halnya jika bukan Van Mook yang mensosialisasikan format federal ini, tentu saja format ini mendapat tempat yang fair untuk dikaji dan dibandingkan secara obyektif.
Tanpa bermaksud menafikan upaya konsolidasi kekuasaan yang dilakukan pada saat wacana bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara Indonesia.

Tetapi kita cenderung melihat perkembangan bangsa yang terancam disintegrasi ini sebagai alasan kuat pertimbangan terhadap bentuk federal. Kita memahami bahwa kekuasaan itu tersebar dalam berbagai aktor. Indonesia yang dari sisi aktor memiliki keragaman, jika dipilah secara wilayah, ada aktor pusat dan aktor daerah, aktor daerah tentu saja tidak menghendaki pemusatan kekuasaan. Kejenuhan mereka pun akhirnya booming, salah satunya melalui separatisme. Dulu di jaman pemerintahan Soeharto dianggap hanya ekses politik di daerah yang kurang diperhatikan, tetapi akumulasi ekses ini malah menimbulkan masalah yang lebih besar bagi keutuhan bangsa.

Maka dari itu, bentuk federal patut dipertimbangkan sebagai jalan tengah antara mengurangi ketidak-adilan dengan upaya menjauhkan disintegrasi bangsa. Pertimbangan Romo Mangun Wijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat, memberikan ide Bhineka tunggal ika dengan pernyataan, demi ke-tunggal-an RI itulah, ke-bhineka-an federal dalam abad 21 harus dibentuk.

Hanya saja dari sisi substansi, sesungguhnya wacana otonomi daerah seluas-luasnya pun banyak dibaca hampir sama dengan federal. Sebagainya pendapat Prof. Ryass Rasyid dan Prof. Dr Ichlasul Amal. Dengan kata lain, bentuk negara kesatuan dengan prinsip wewenang ditransfer ke daerah. Tetapi pendapat ini menjadi bias karena transfer kewenangan daerah dalam negara kesatuan itu dilimpahkan dari pusat ke daerah. Sedangkan dalam negara federal pelimpahan itu dari daerah ke pusat. Jadi kemudian, tidak mengherankan terjadi ambiguitas di daerah terkait wewenangnya yang seolah dibatasi dengan perumusan dari pusat (DAU,DAK,dsb), atau multi interpretasi yang terjadi karena batasan wewenang tidak jelas. Singkatnya, Diberikan batasan oleh pusat akan membatasi daerah, tetapi jika tak dibuat patokan akan diinterpretasi berbeda-beda. Maka dapat dipastikan fenomena seperti ini masih akan terus terjadi.

Sistem Presidensiil
Dalam hal sistem pemerintahan, saya berpendapat bahwa sistem presidensiil masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengacu pada sejarah parlementarian di Indonesia yang malah menimbulkan ketidak-stabilan sistem politik. Representasi dalam lembaga parlemen (legislatif) di Indonesia begitu proporsional dengan basis kemajemukan yang beragam. Sehingga dalam mengagregasikan kepentingan di lembaga legislatif sangat ditentukan oleh kompromi-kompromi yang berimbas pada kekurang-efektifan sistem pemerintahan (sistem parlementer).

Selain itu, secara empirik kekuasaan presiden cukup kuat di Indonesia. Dapat kita lihat pada Soekarno yang memiliki basis dukungan menyeluruh dari seluruh masyarakat, beliau sempat merasakan parlementer yang “membatasi” gerak kekuasaanya. Tetapi kemudian, secara menakjubkan namun mungkin terjadi Beliau dapat membentuk lembaga perwakilan. Meskipun akhirnya, terlalu kuat pun menimbulkan masalah bagi bangsa. Begitu juga Soeharto yang tak diragukan lagi kekuasaannya selama 32 tahun. Dengan catatan yang sama, terlalu kuat menimbulkan masalah yang sama yakni otoriter. Namun, pemerintahan SBY di era transisi demokrasi sekarang ini pun patut menjadi catatan. Bahwa ada kecenderungan parlemen (DPR) lebih kuat dari presiden yang diekspresikan dengan sikap peragu, dan cenderung kompromistis dari SBY dalam membuat kebijakan. Yang perlu digaris bawahi pula, basis dukungan SBY di parlemen memang tidak terlalu besar, menjadi wajar bila terdapat “rongrongan politik” dari pesaing politiknya di legislatif,utamanya.

Sebagai akhir, bahwasanya signifikansi dan relevansi sistem presidensiil di Indonesia secara empirik menguatkan keyakinan kita akan penerapan sistem tersebut. Walaupun kita mesti mencermati catatan tersebut dengan baik melalui regulasi yang dapat membatasi meluapnya kekuasaan presiden. Idealnya, presiden pun seharusnya memiliki basis dukungan yang kuat di masyarakat dan lembaga perwakilan.

Sumber :

http://soodhy.wordpress.com/2007/09/17/format-bentuk-negara-dan-sistem-pemerintahan-yang-cocok-untuk-indonesia/
9 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://akbartandjung.com/gambar/article/content/783/Bendera_Indonesia_27e203_480.jpg

KONSEP NEGARA, SEJARAH DAN POLITIK INDONESIA


Negara
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya.

Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya. Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan jaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.

Negara terkecil
Negara terkecil di dunia adalah Vatikan dengan luas 0,44 km2 kemudian diikuti oleh Monako seluas 1,95 km2, Nauru seluas 21 km2, Tuvalu seluas 26 km2 dan San Marino seluas 61 km2.

Pengertian Negara menurut para ahli
• Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
• Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
• Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
• Roger F. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
• Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
• Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.

Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia (disingkat NKRI atau Indonesia atau Republik Indonesia atau RI) ialah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan, berbatasan dengan Papua Nugini di pulau Papua dan berbatasan dengan Timor Leste di pulau Timor.
Kata "Indonesia" berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau". Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India.

Sejarah
Di bawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, beberapa kerajaan terbentuk di pulau Sumatra dan Jawa sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Kedatangan pelaut-pelaut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho/Zheng He, pedagang-pedagang Arab dari Gujarat, India, kemudian membawa agama Islam.

Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa negara-negara kecil. Negara-negara kecil ini dengan mudah dikuasai oleh orang-orang Eropa tersebut yang ingin mendominasi perdagangan rempah-rempah. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Timur). Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi dari Belanda yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel. Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.

Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem ini dihapus. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan Beretika, yang termasuk reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia-Belanda.

Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia; setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, kelompok pimpinan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal sebagai 'aksi polisi' (Politionele Actie). Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutamanya Amerika Serikat. Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti gerakan non-blok pada awalnya dan kemudian dengan blok sosialis, misalnya Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"), dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.

Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno kini sendiri makin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. 32 tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata, di Indonesia. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom-ekonom lulusan departemen ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley". Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur akhirnya resmi memisahkan diri pada tahun 2002 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

Politik
Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara. Namun setelah amandemen ke-4 MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandeman UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR ditambah anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat ini diketuai oleh Hidayat Nur Wahid. Anggota MPR saat terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. DPR saat ini diketuai oleh Agung Laksono, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh Ginandjar Kartasasmita. Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua.

Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap Ahli dalam bidangnya).

Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung,Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi termasuk pengaturan administrasi para Hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan. Ketua MA saat ini Prof Dr Bagir Manan mendapat banyak kritik dari berbagai pihak sehubungan dengan kelemahan MA dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Namun dalam Pemilihan Ketua MA baru-baru ini, Bagir tetap mendapat suara mayoritas dari para hakim Agung.

Sumber :
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/
09 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://tymask.files.wordpress.com/2008/06/proklamasi.jpg

Minggu, 08 Maret 2009

KONSEPSI BELA NEGARA DAN ANCAMAN KEUTUHAN WILAYAH KEDAULATAN RI


Pendahuluan
Perubahan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia karena dampak globalisasi kemajuan teknologi diberbagai bidang seperti komunikasi, informasi, dsb. sangat berpengaruh terhadap aspek sosial yang mencakup tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang masuk dari luar akan membawa nilai-nilai tertentu yang secara langsung atau tidak akan bersinggungan dengan nilai-nilai yang sudah ada yang pada akhirnya akan mempengaruhi dan merubah tata nilai yang sudah menjadi identitas maupun pedoman kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai contoh nyata kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah sikap toleransi yang dahulu dikenal sangat tinggi atau beradab dari bangsa kita, namun dalam perkembangan yang begitu cepat +10 tahun ini yakni dengan munculnya berbagai konflik sosial dan pada titik kulminasi dengan timbulnya akan ancaman disintegrasi bangsa.

Dengan kondisi negara kita yang tengah dilanda krisis berkepanjangan, tercabik dari berbagai aspek sehingga mengalami keterpurukan, dan sudah tidak terhitung berapa besar nilai yang sudah dikeluarkan untuk mengatasi berbagai persoalan diatas. Berbagai teori maupun tindakan riel untuk mengembalikan citra bangsa kita yang beradab dalam arti penuh kedamaian, kerukunan, apalagi menciptakan keadilan dan kemakmuran yang bisa dinikmati hingga masyarakat bawah nampaknya masih sulit. Tetapi yang masih saja melekat antara lain sifat arogansi, berbagai bentuk penyelewengan dan apa saja yang bertendensi negatip. Sehingga kalau ada bangsa lain yang menganggap remeh kita, punya ranking tinggi dalam korupsi, lemah berdiplomasi dengan negara-negara lain, selayaknya kita hadapi dengan lapang dada tidak perlu marah atau tersinggung dan hal ini bukan berarti kita tidak punya nyali.

Menjadi hal yang perlu kita coba pikirkan dan atasi bersama untuk memperbaiki atau memulihkan bangsa kita yang katanya terpuruk ini, akan dimulai darimana solusi yang kiranya paling mengena/tepat? Setiap institusi sesuai bidang tugas pokok masing-masing pada hakekatnya mengandung misi yang sama yaitu membangun bangsa dan negara ini untuk mencapai tujuan nasional dalam pengertian luas untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dalam wadah NKRI. Dephan misalkan sebagai salah satu Lembaga Pemerintah mempunyai fungsi menyiapkan sistem pertahanan negara yang handal dan satu aspeknya adalah bagaimana membangun masyarakat Indonesia sebagai potensi sumberdaya manusia yang mempunyai ketahanan dan mampu menghadapi tantangan dan resiko kedepan dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Salah satu program Dephan dalam pembinaa potensi ketahanan SDM tersebut menjadi beban tugas atau diselenggarakan oleh Ditjen Potensi Pertahanan melalui program penataran tenaga inti Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (Targati PPBN) bagi para Pamen TNI dan POLRI. Diharapkan dari program Targati PPBN akan dihasilkan kader-kader dalam mensosialisasikan kesadaran bela negara di masyarakat minimal dilingkungan tugas Kesatuan atau keluarga masing - masing. Lingkungan keluarga merupakan sasaran yang mendasar bagi pemahaman bela negara, mengingat keluarga bisa dikatakan sebagai unit organisasi terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsepsi Bela Negara
Melihat perkembangan dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, rasanya cukup berat beban negara ini dalam menghadapi berbagai persoalan baik menyangkut bidang politik, ekonomi maupun aspek sosial lain. Terlebih dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan dan ancaman terhadap keutuhan wilayah kedaulatan keutuhan wilayah kedaulatan negara yang pada mulanya masih atau hanya bersifat fisik, akan tetapi pada saat ini sudah berkembang menjadi bersifat multi dimensi yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama maupun keamanan yang banyak kaitannya dengan kejahatan internasional seperti terorisme, narkoba, imigran gelap, pencurian sumber daya alam,dsb.

Disisi lain akibat berbagai faktor menyebabkan adanya kecenderungan masyarakat kita akan menipisnya rasa cinta tanah air, menurunnya jiwa patriotisme dan nasionalisme serta rasa persatuan dan keutuhan bangsa. Sebagai salah satu pendekatan koseptual dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa tersebut diatas adalah membangkitkan kembali kesadaran kita pada semangat persatuan bangsa, nasionalisme maupun patriotisme melalu upaya kesadaran bela negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian bela negara oleh kalangan umum (awam) sebenarnya tidak semata-mata hanya dipahami sebagai upaya dalam bentuk fisik mengangkat senjata atau hal-hal yang bersifat militerisme. Dalam hal ini konsepsi bela negara juga mengandung dimensi pengertian yang cukup luas yang pada hakekatnya merupakan hubungan baik (sikap toleransi tinggi) sesama warga negara hingga pada kebutuhan bersama dalam menangkal berbagai bentuk ancaman musuh baik yang berasal dari dalam atau luar negeri terhadap keutuhan kedaulatan negara kesatuan RI. Konsepsi bela negara ini tidak lepas dari konsepsi tentang ketahanan nasional kita.

Menurut RM Sunardi dalam Pengantar Teori Ketahanan Nasional, konsepsi analitik tentang Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik satu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional didalam mengatasi dan menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung akan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasional. Dalam implementasinya untuk mewujudkan ketahanan nasional telah menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan dalam upaya melindungi eksistensi dan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dalam wadah NKRI. Secara mendasar pemahaman tentang bela negara itu terdapat didalam pasal 9 UURI No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan sebagai yang telah diamanatkan pula dalam UUD tahun 1945 baik yang sudah diamandemen dalam pasal 27, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Peluang ancaman keutuhan wilayah kedaulatan RI.

Rasanya masih terngiang ditelinga kita atas putusan dari Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag Belanda pada bulan Desember 2002 tentang kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan sebagai putusan yang sah tidak dapat diganggu gugat lagi, bahwa kedua pulau tersebut sekarang resmi menjadi milik Malaysia. Putusan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan apabila kita mempelajari jauh sebelumnya atas status kedua pulau itu. Beberapa pakar ada yang mempre-diksi sebelumnya bahwa putusan MI tersebut akan dimenangkan oleh Malaysia, walaupun menurut Ir. Suwarno P Raharjo Msi sebagai Direktur Perbatasan Depdagri dalam Berita Perbatasan Depdagri setelah Oral Hearings di MI pada bulan Agustus 2002, diperkirakan dari data/faktor yuridis, historis, geografis maupun faktor lain perbandingan kemenangan diperhitungkan akan dipihak RI dengan peluang score 52,5% dengan 47,5%.Apabila orang Malaysia yang menghitung tentunya akan berbeda pula hasilnya.

Dibalik kenyataan itu, nampaknya kita tidak pernah menghitung berapa nilainya kalau suatu obyek yang disengketakan itu telah dibina, dipelihara, walaupun kedua pulau itu dinyatakan status quo. Penggalangan dan pembinaan atas kedua pulau tersebut sudah dilakukan pihak Malaysia selama + 30 tahun, sehingga wajar pula kalau pihak Malaysia berdaya upaya untuk memperjuangkan kepemilikannya, sehingga faktor inilah yang nampaknya mempunyai kredit point yang tinggi dalam pengambilan keputusan sidang MI. Kini sudah berlalu dan kita menerima kenyataan tersebut, sehingga langkah berikutnya tentunya kita perlu merevisi kembali wilayah yurisdiksi nasional melalui kerjasama penetapan batas internasional dengan Malaysia. Sementara peluang-peluang yang serupa atas ancaman keutuhan wilayah kedaulatan maupun yurisdiksi nasional negara kita di beberapa bagian/wilayah lain masih ada.

RI memiliki batas wilayah dilaut dengan 10 negara tetangga, yaitu dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste berbatasan dengan RI di darat. Baik perbatasan di laut maupun di darat masalah penegasan dan penetapan batas internasional tersebut sampai sekarang belum tuntas karena masih ada kantung-kantung sepanjang garis batas yang belum tertutup (belum ada kesepakatan bersama dalam penentuan batas negara maupun yang bermasalah). Sebagai contoh, di perbatasan darat antara RI - Malaysia di Kalimantan terdapat 10 permasalahan batas yang masih perlu penyelesaian. Di beberapa lokasi sepanjang wilayah perbatasan kedua negara ini kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya antar RI dengan Malaysia mempunyai perbedaan yang cukup tajam. Misalkan saja di Entikong Kalimantan Barat dengan Tebedu di wilayah negara bagian Sarawak Malaysia, dimana tempat-tempat tinggal ataupun usaha masyarakat Entikong nampak kumuh dan pola tata ruangnya juga belum tertata dengan baik, sebaliknya di Tebedu pola tata ruang nampak lebih rapi, nyaman dan tidak kumuh.

Di wilayah sepanjang perbatasan negara ini juga tidak asing lagi rawan akan illegal logging. Illegal trading dan ilegal apa saja yang bisa berpeluang mendatangkan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Hal-hal demikianlah bagi masyarakat perbatasan kita yang pada umumnya tidak sejahtera, akan sangat mudah sekali terkontaminasi atau terkena dampak negatif tersebut. Sehingga tidak mustahil akan berdampak lebih jauh melunturnya rasa nasionalisme, jiwa patriotisme, rasa persatuan dan keutuhan bangsa, cinta tanah air termasuk pemahaman akan kesadaran bela negara. Memang, solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah dengan menumbuhkan lagi "sense of belongin" atau rasa/semangat memiliki oleh masyarakat kita terhadap keutuhan bangsa dan negara yang salah satu manifestasinya adalah tegaknya wilayah kedaulatan dan yurisdiksi negara RI.

Namun persoalannya kembali lagi apabila melihat kondisi negara kita yang masih dilanda krisis, sehingga bagi masyarakat bawah yang tidak punya penghasilan tetap seperti di masyarakat perbatasan atau di tempat-tempat marginal lain bagaimana akan tabah dan mampu menjaga rasa persatuan maupun keutuhan bangsa dan isi kekayaan (sumber daya) alam negara, sementara untuk makan dan papan yang layak huni saja mereka masih kesulitan sehingga pada gilirannya tidak ada jalan lain kecuali merambah hutan atau sumberdaya alam lain tanpa peduli akan resikonya.

Hal-hal tersebut yang merupakan gambaran/realita kondisi kita dewasa ini, sehingga dengan konsepsi bela negara diatas, tentunya yang sangat krusial menjadi tantangan pemerintah adalah bagaimana upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan hukum bagi masyarakat bawah agar pemahaman akan cinta tanah air dalam arti luas tidak lagi diracuni dengan tindakan-tindakan negatip atau yang bersifat ilegal (melanggar hukum). Belum lagi dihadapkan sejumlah konflik sosial lain seperti kerusuhan atau gejolahk yang terjadi di wilayah tanah air seperti kasus Maluku, Aceh, Papua yang merupakan ujud nyata bentuk ancaman di dalam negeri yang sangat membahayakan terhadap rasa persatuan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI.

Penutup
Kesadaran akan bela negara bagi setiap warga negara Indonesia yang antara lain diwujudkan melalui PPBN yang merupakan bagian dari sistem pendidikan kewarganegaraan negara adalah merupakan tanggung jawab bersama atau secara institusional (interdep) perlu disosialisasikan secara meluas dan konseptual dalam arti perlu didukung lagi dengan seperangkat peraturan perundang-undangan lain seperti yang diamanatkan dalam pasal 9 UURRI No. 3 seperti ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar militer wajib, maupun pengabdian sesuai dengan profesi. Tidak kalah penting dan akan menjadi hal fundamental adalah aspek kesejahteraan bagi masyarakat diberbagai lapisan bawah, sehingga ada keseimbangan antara upaya menumbuh kembangkan kesadaran bela negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang seiring dengan aspek ketahanan nasional. Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap keutuhan wilayah NKRI tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan.

Upaya penggalangan/pembinaan masyarakat seperti di wilayah perbatasan negara maupun di wilayah-wilayah yang rawan konflik sosial yang pada hakekatnya mempunyai potensi ancaman keutuhan wilayah kedaulatan negara perlu mendapat perhatian / prioritas penanganan utama bagaimanapun sulit dan berat beban negara/pemerintah yang harus dipikul. Resiko akan kehilangan pulau-pulau lain di sepanjang perbatasan negara atau wilayah yang bermasalah, mudah-mudahan bisa diantisipasi lebih baik dan lebih profesional lagi.

Sumber :
Kolonel Ctp. Drs. Juni Suburi, Tenaga Fungsional Ditwilhan Ditjen Strahan Dephan. http://warta.dephan.go.id/index1.asp?vnomor=29&mnorutisi=6
08 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://ruangsejarah.files.wordpress.com/2007/12/sinopsis.jpg