Selasa, 16 Maret 2010
Sabtu, 15 Agustus 2009
Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
Hidup dalam cengkaraman penjajah yang selalu bertindak sewenang-wenang; merampas hak-hak, mencaplok tanah, mempekerjakan secara paksa tanpa imbalan, selain cemeti yang tak henti-henti mendera tubuh yang hanya dibalut kain seadanya, bila ada seseorang yang berbicara menuntut hak-haknya, tak jarang disumbat dengan berbagai senjata, hingga ia diam seribu bahasa.
Cuplikan salah satu sudut kehidupan bangsa Indonesia yang terjajah, sebelum 61 tahun yang silam (2006), mungkin tidak terbayangkan oleh generasi belakangan yang hanya mengeyam nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, akibat dari terlupakannya kepedihan hidup di bawah kangkangan penjajah, hilangnya rasa syukur. Oleh karena itu Allah mengingatkan para shahabat akan nikmat kemenangan di perang Badr, yang sebelumnya mereka dalam kehinaan dan lemah, Allah SWT berfirman:
"Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya" (Ali Imran: 123)
Allah ingatkan para shahabat akan kepedihan hidup mereka sebelum kemenangan agar bisa mensyukurinya.
Untuk mengingatkan generasi ini, saya kira, kita tidak perlu harus memaksa mereka untuk menonton film-film tentang penjajahan Belanda di bioskop dengan dipungut bayaran. Cukup diingatkan mereka akan kepedihan teman-teman sebaya mereka anak-anak terjajah di Irak dan Palestina, setiap hari mereka saksikan hidup bergelimang kesengsaraan, menghadapi kebengisan dan kekejaman penjajah yang hanya mau menyapa mereka dengan senjata penghancur dan alat-alat berat yang setiap saat siap meruntuhkan rumah tempat mereka bernaung, dan tak jarang mereka bersimbah air mata dipaksa berpisah dengan orang tuanya, tak tahu entah kapan mereka akan saling bersua -semoga Allah mempertemukan mereka di dalam surga-Nya-.
Cara mensyukuri nikmat kemerdekaan:
A. Mensyukuri dengan kalbu: dalam bentuk pengakuan bahwa nikmat kemerdekaan semata-mata berasal dari Allah. Dan perwujudan dari bentuk syukur ini para pendiri bangsa telah menggoreskan pena mereka dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45: "Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa…".
Bila ini diingkari tidak menutup kemungkinan, Allah akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (azab). Seperti yang terjadi pada kaum kafir Quraisy yang mengganti nikmat Allah (Muhammad shallahu alaihi wasallam) dengan mendustakannya, Allah berfirman: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan" (QS. Ibrahim:28)
B. Mensyukuri dengan lisan: Dalam bentuk bertahmid dan bertahlil kepada-Nya, serta berterima kasih dan menyebut jasa baik para pahlawan, juga tak lupa mendoakan mereka, semoga amalnya diterima Allah. Menyebut jasa baik tersebut juga bagian dari syukur kepada Allah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam: "Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah"
(HR.Abu Daud, dishahihkan oleh Ahmad Syakir).
C. Mensyukuri dengan perbuatan dalam bentuk:
1. Sujud syukur saat nikmat kemerdekaan itu tiba, ini saya kira, telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Setiap kita memperoleh nikmat dianjurkan langsung bersujud, berdasarkan hadits Abu Bakrah, dia berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bila datang kepadanya kabar gembira atau diberitakan, beliau serta-merta bersujud dalam rangka bersyukur kepada Allah". (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Bani).
Saya pernah membaca sebuah majalah yang memuat tentang sekelompok orang yang pada jam:00 wib. pada malam 17 Agusutus, setelah mereka menaikkan bendera merah putih, mereka bersujud kearah tiang bendera.
Perbuatan ini bertentangan dengan makna syukur; karena sujud adalah puncak ibadah yang hanya boleh dilakukan kepada Allah semata. Tidak kepada bendera dan selainnya, perbuatan ini dapat membatalkan keislaman seseorang –na'udzubillah-. Jika niatnya adalah sujud syukur, itu hanya dilakukan pada jam.10 pagi wib. Tanggal 17 Agustus 1945 saja, saat berita proklamasi dikumandangkan. Setelah itu tidak disyariatkan lagi, karena kalau masih disyariatkan tentulah kita setiap waktu harus bersujud, karena nikmat kemerdekaan sampai saat ini tidak terputus dari kita, dan ini tidak mungkin kita lakukan.
2. Mengisi nikmat kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah menuju ridha-Nya, dalam berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa perbuatan yang sering kita saksikan di setiap bulan Agustus yang bertentangan dengan makna syukur, diantaranya; lomba goyang yang diiringi musik antara dua orang yang berlawanan jenis kedua kening mereka dirapatkan dan tengahnya diletakkan bola kecil, puncak peringatan agustusan dengan diringi musik dan tidak jarang disaat itu minuman memabukkan berkeliaran dari satu tangan ke tangan yang lain. -Naudzubillah- orang mensyukuri nikmat Allah dengan berbuat maksiat kepada-Nya. Perumpamaan mereka tak ubahnya seperti kaum yang disinyalir Allah dalam firman-Nya,
Katakanlah : "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut, dengan mengatakan :
"Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur". Katakanlah : "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan kemudian kamu kembali mempersekutukannya"
(QS. Al An'aam: 63-64):
Buah mensyukuri nikmat kemerdekaan :
A. Allah akan menambah nikmat tersebut.
Allah berfirman dalam surat QS Ibrahim : 7, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
B. Nikmat syukur itu akan kembali kepada orang yang mensyukurinya.
Allah berfirman dalam surat QS Luqman : 12, "Dan barangsiapa siapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"
C. Allah tidak menurunkan siksanya kepada orang yang bersyukur.
Allah berfirman dalam surat QS An Nisaa : 147,
"Allah tidak akan menurunkan azab-Nya kepadamu, jika kamu bersyukur dan beriman". Akhirnya mari kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang bersyukur:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut nama-Mu, mensyukuri-Mu dan ibadah yang baik kepada-Mu".
Sumber :
Erwandi Tirmizi
http://www.islamhouse.com/p/117560
15 Agustus 2009
Sumber Gambar:
http://hapsarie.files.wordpress.com/2008/08/pejuang-kemerdekaan.jpg
Memaknai Kemerdekaan Dari Perspektif Pembinaan Karakter Bangsa
Pendahuluan
Bulan Agustus adalah bulan yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Setiap bulan ini bangsa Indonesia merayakan sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai hari ini bangsa Indonesia telah menikmati alam kemerdekaan selama 62 tahun (tahun 2007) dan telah mengisinya dengan berbagai aktifitas sebagaimana diamanatkan oleh pendiri bangsa ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, maka perhatian dan penghormatan pada para pahlawan juga telah menjadi tradisi yang hidup pada bangsa besar Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu lingkup kepahlawanan ini pun telah diperluas. Ada pahlawan nasional, ada pahlawan kemerdekaan, ada pula pahlawan Revolusi. Penghargaan kepada para pahlawan bukanlah dalam bentuk pengkultusan individu tertentu, tetapi wujud rasa hormat kepada individu yang telah memperlihatkan pengabdian, pengorbanan, serta jasa tanpa pamrih bagi kejayaan nusa dan bangsa yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas pembangunan yang didasari oleh semangat dan karakter kepahlawanan. Esensi dari karakter kepahlawanan adalah kerelaan untuk berbuat sesuatu yang ditujukan untuk mencapai cita-cita besar bangsanya diiringi dengan kesediaan untuk mempertaruhkan jiwa dan raga.
Karakter seperti itulah yang menjadi parameter keberhasilan bangsa Indonesia di masa perjuangan fisik. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-62 ini, makalah ini akan mengulas kembali pemaknaan kemerdekaan tersebut dari perspektif pembinaan karakter bangsa, khususnya dikaitkan dengan relevansi dan aktualisasi karakter kepahlawanan di masa sekarang ini.
Karakter Bangsa Dan Mengisi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan RI yang dikumandangkan ke seluruh dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah produk dari sejumlah konstituen perjuangan yang sangat lengkap. Ada perjuangan yang bersifat politis, yakni melalui pendirian sejumlah partai, ada perjuangan yang bersifat konseptual yakni berbagai aktifitas intelektual yang melahirkan berbagai konsepsi yang di kemudian hari menjadi ideologi bangsa dan ada pula perjuangan yang bersifat fisik yaitu melalui berbagai konflik bersenjata yang telah merenggut ribuan nyawa pahlawan kita. Kumpulan konstituen perjuangan itu bersinergi dengan baik dan dengan kohesivitas yang tinggi, yang pada akhirnya bermuara pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Harus diakui bahwa pola sinergi dari berbagai konstituen yang beraneka ragam tersebut hanya dapat dikonvergensikan melalui suatu kerja keras dari individu dan sekelompok masyarakat dengan karakter dan semangat juang yang tinggi. Menterpadukan berbagai konstituen perjuangan yang sangat kompleks tersebut untuk kemudian menjadi sebuah produk yang koheren dan produktif, yaitu kemerdekaan bagi suatu bangsa adalah sebuah upaya yang sangat luar biasa dan hanya mungkin dilakukan oleh manusia-manusia dengan karakter unggul.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa para pendiri bangsa ini adalah generasi manusia Indonesia dengan karakter kepahlawanan yang unggul, yang sanggup merancang skenario masa depan bangsanya, menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Gagasan pembangunan karakter bangsa unggul telah ada semenjak diproklamirkannya republik ini pada tanggal 17 Agustus 1945. Pimpinan nasional kita yang pertama yakni Bung Karno telah pernah menyatakan perlunya nation and character buildings. Walaupun pernyataan tersebut dalam konteks politik, namun secara eksplisit mengandung arti bahwa pembangunan Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun fisik akan tetapi harus termasuk membangun karakter dan budaya bangsa. Beberapa tokoh nasional bangsa ini seperti Ki Hadjar Dewantoro juga menyebutkan tentang perlunya character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi dan kemerdekaannya. Cukup banyak contoh empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress pembangunan. Contoh pertama adalah Cina. Negeri ini bisa dikatakan tidak lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia di era ’70 an. Namun dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakkan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrasinya secara substansial. Sedangkan budaya kerja keras tampak nyata dari semangat rakyat di negeri ini untuk bersedia bekerja selama 7 hari dalam seminggu demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi negara pengekspor terbesar, akan tetapi bahkan lebih dari itu, produk ekspor Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Contoh lain adalah India. Negara ini sekarang telah berhasil menjadi salah satu negara yang sanggup berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, maka mencapai posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi yang membanggakan. Keberhasilan ini didorong oleh karakter kuat bangsa India untuk maju dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan istilah budaya swadeshi. Prinsip inilah yang telah membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana seperti sabun mandi hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan pesawat terbang dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah kalau dibandingkan dengan produk Jepang dan Barat akan tetapi semangat swadeshi telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India nyaris tidak ada.
Karakter bangsa-bangsa besar lainnya juga hampir sama. Intinya selalu ada kombinasi antara semangat juang, disiplin dan kerja keras. Karakter bangsa Jerman misalnya, adalah ’arbeit’ atau kerja keras. Artinya bagi bangsa Jerman, sukses diperoleh melalui suatu kerja keras dan tanpa lelah. ’Budaya instan’ tidak ada dalam kamus bangsa Jerman. Dengan arbeit inilah bangsa Jerman, yang pernah kalah dalam dua kali perang dunia, masih sanggup tampil kembali sebagai salah satu mesin ekonomi dan teknologi terkuat, termaju dan termodern didunia.
Pembinaan Karakter Bangsa Di Era Globalisasi
Makna kemerdekaan di era globalisasi bukanlah berarti suatu kemandirian total. Hakekat kemerdekaan di era globalisasi adalah suatu kapasitas yang mandiri yang dimiliki oleh suatu bangsa dalam membina keterbukaan dengan bangsa-bangsa lain didunia, berdasarkan prinsip saling melengkapi atau komplementasi, yang saling menguntungkan. Untuk dapat menjalankan prinsip komplementasi yang saling menguntungkan tersebut, maka suatu bangsa dituntut untuk memiliki daya saing atau competitiveness. Parameter daya saing inilah yang selanjutnya berperan penting dalam menentukan setiap dinamika kehidupan berbangsa.
Sejalan dengan hal itu, maka kemandirian dan martabat suatu bangsa di era globalisasi akan sangat ditentukan oleh kapasitas bangsa tersebut dalam membina dan mengembangkan suatu pranata ekonomi dan sosial-politik yang menunjang peningkatan daya saing secara terus menerus. Bangsa yang berhasil di era milenium ini adalah bangsa dengan kapasitas daya saing tinggi, yang rakyatnya memiliki kapasitas berpikir yang cerdas, kemampuan imajinasi dan kreasi yang tak terbatas dan mental yang robust atau tahan banting. Bangsa dengan kualitas yang seperti itulah yang akan sanggup berevolusi di era milenium ini dan di masa depan.
Sebaliknya tanpa adanya kapasitas daya saing yang tinggi, maka bangsa tersebut tidak akan mampu memberikan komplementasi yang berarti pada sistem sivilisasi global dan memberikan peran pada sektor-sektor ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Bangsa yang demikian, walaupun sarat dengan sumber daya alam akan tergusur dan hanya mampu mengembangkan sektor ekonomi dengan nilai tambah rendah, lingkungan yang semakin rusak dan secara budaya akan terjajah.
Tanpa adanya upaya dan komitmen bagi suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya, maka kita sangat berisiko menjadi bangsa yang termarginalkan di era kompetisi global. Lemahnya daya saing suatu bangsa akan mengakibatkan rentannya kemandirian bangsa tersebut karena akan terjebak pada dua perangkap globalisasi atau globalisation trap yaitu perangkap teknologi atau technology trap dan perangkap budaya atau culture trap. Kedua perangkap ini umumnya dengan cepat dapat dialami oleh suatu bangsa dengan karakter yang lemah. Sebagai misal perangkap teknologi akan menjebak sebuah bangsa untuk membangun industri yang hanya berbasiskan pada lisensi atau re-alokasi pabrik tanpa adanya pembinaan kapabilitas teknologi, sehingga bangsa tersebut, meskipun tampaknya dapat memfabrikasi berbagai produk, namun esensinya proses fabrikasi itu sebenarnya hanya dilakukan pada tahapan yang relatif tidak atau kurang penting. Adapun tahapan dari proses yang lebih penting (atau sangat penting) dari proses fabrikasi tersebut masih dikuasai oleh negara asing. Sehingga pada akhirnya bangsa yang demikian aktifitas industrinya akan sangat bergantung dengan entitas asing.
Adapun perangkap budaya umumnya adalah dalam bentuk intervensi tata nilai unsur-unsur asing kepada budaya lokal suatu bangsa. Hal ini sangat dimungkinkan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi serta transportasi yang menjadikan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif. Teknologi komputer-jaringan atau internet saat ini telah menjadikan transaksi informasi menjadi sangat mudah. Namun, terkadang amalgamasi atau penggabungan antara tata nilai budaya yang berbeda malah menghasilkan jenis budaya baru yang tidak relevan dengan adat istiadat dasar dari bangsa tersebut. Bahkan sering akhirnya bersifat counter-productive pada pembangunan bangsa yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia, misalnya intervensi budaya hedonistik dan materialis berpotensi untuk melunturkan nilai-nilai budaya dasar Indonesia yaitu kekeluargaan dan relijius.
Kedua perangkap yang diulas diatas, haruslah dijadikan sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dalam membangun bangsa di era global. Unsur yang sangat penting dalam memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi kedua perangkap tersebut adalah terus menumbuhkembangkan karakter unggul yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah dibuktikan aktualisasinya oleh para pendiri bangsa ketika memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sekarang ini setelah 62 tahun merdeka, harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai dinamika proses transformasi karakter bangsa. Dalam kurun waktu tersebut telah cukup banyak dicapai berbagai hasil pembangunan walaupun harus diakui masih banyak beberapa kekurangan yang perlu ditingkatkan pencapaiannya khususnya terkait dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.
Bangsa kita saat ini dihadapkan pada sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan karakter bangsa. Di satu pihak, pembangunan bangsa ini telah mencatat sejumlah prestasi, seperti pertumbuhan ekonomi yang membaik dan hampir mencapai target 6% di tahun 2007 ini, kuota ekspor yang terus meningkat, cadangan devisa yang semakin besar dan jumlah penduduk miskin juga telah semakin berkurang. Namun di pihak lain, kita masih menghadapi sejumlah fenomena seperti kasus korupsi, saling memfitnah dalam kehidupan bernegara dan sejumlah ekses lain yang tidak mencerminkan sifat-sifat karakter unggul yang telah pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini.
Oleh karena itu merombak tatanan suatu bangsa di era globalisasi tidak cukup hanya dengan menjadikan masyarakat bangsa tersebut berada dalam tatanan pola kehidupan demokratis yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heterogenitas politik, akan tetapi di era knowledge based economy dituntut adanya hal yang lebih dari itu, yakni suatu tatanan masyarakat demokratis yang terus melakukan pembelajaran atau learning society dalam upaya untuk mencapai suatu peningkatan kapasitas pengetahuan yang kontinyu sehingga akan terbentuk suatu masyarakat madani yang berdaya saing atau competitive civil society. Inilah bentuk masyarakat yang mendukung untuk tercapainya kemandirian dan peningkatan martabat bangsa.
Makna kemerdekaan dari perspektif pembinaan karakter bangsa adalah ketika suatu bangsa sanggup membentuk masyarakat madani yang berdaya saing. Dan hal itu dapat dilakukan berdasarkan pada dua prinsip. Prinsip yang pertama adalah mengutamakan pemberdayaan karakter bangsa terutama kaum mudanya agar menjadi individu yang kreatif. Dan prinsip yang kedua adalah menciptakan suatu tatanan pembangunan nasional yang bersifat innovation-led development. Atau pembangunan yang berkarakter, yaitu pembangunan yang tidak sekedar mengutamakan aspek fisik belaka, akan tetapi juga menonjolkan aspek pembentukan tata nilai atau value creating sehingga akan memacu terjadinya stimulasi pembentukan karakter yang positif.
Mekanisme Institusional dan Pembinaan Karakter Bangsa
Salah satu contoh dimana bangsa ini masih memiliki karakter unggul adalah kenyataan bahwa sejumlah anak-anak didik kita meraih prestasi gemilang dengan menjadi juara dunia olimpiade fisika. Sebuah prestasi yang secara implisit memberikan arti penting bahwasanya bangsa Indonesia juga memiliki kemampuan pola pikir logic yang unggul dan setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Catatan prestasi ini juga bukti empiris bahwasanya masih ada komponen bangsa yang tidak malas dan memiliki karakter kerja keras serta sikap bersaing untuk selalu menjadi yang terbaik di era kompetisi inovasi global atau global innovation race. Anak-anak muda kita yang berprestasi ini jelas merupakan produk institusional bidang pendidikan. Sehingga menjadi jelas bagi kita, bahwasanya untuk pembangunan karakter bangsa maka mekanisme institusional memiliki peran yang sangat penting.
Tanpa adanya mekanisme institusional yang kuat, maka akan berpotensi untuk gagalnya suatu induksi positif dari karakter bangsa yang baik, kepada kanal-kanal komponen bangsa lainnya, sehingga karakter positif tersebut tidak dapat di transmisikan ke seluruh denyut pembangunan.
Apabila kelemahan mekanisme institusional ini dibiarkan maka akan mengakibatkan erosi dari karakter positif bangsa menuju pada tata nilai yang tidak membangun atau counter-productive. Misalnya, lemahnya mekanisme institusional pada pembangunan karakter bangsa akan mempersulit adanya induksi mentalitas bersaing dari para juara olimpiade fisika kepada komponen bangsa lainnya, sehingga para juara olimpiade fisika ini malah mengalami reduksi kapasitas pengetahuan ketika berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya.
Pendidikan sebagai mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa juga berfungsi sebagai arena untuk mencapai tiga hal prinsipil dalam pembinaan karakter bangsa yaitu:
Hal pertama adalah pendidikan sebagai arena untuk re-aktifasi sejumlah karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti keberhasilan kita membangun karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh.
Bahkan sampai di era ’40-an dan ’50-an kita pernah bangga menjadi bangsa Indonesia. Dunia mencatat, bahwa di akhir tahun ’40-an, Indonesia adalah salah sat u dari sedikit negara yang merdeka dengan perjuangan berat. Kemudian di tahun ’50-an kita pernah bangga sebagai bangsa yang menjadi pusat perhatian dunia ketika kita menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Sampai dengan tahun ’70-an dunia pendidikan tinggi kita masih bisa berbangga, karena menjadi tempat berguru dari sejumlah mahasiswa dan kaum intelektual mancanegara. Memang kita tidak boleh terlena dengan kejayaan masa lampau, akan tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk peningkatan motivasi dan semangat dalam menapak masa depan merupakan satu hal yang diperlukan dalam rangka memupuk mentalitas positif yang harus kita perjuangkan untuk dapat dibangkitkan kembali.
Hal kedua adalah pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk peningkatan daya saing bangsa. Untuk yang kedua ini maka perkenankan saya menyampaikan dua karakter penting yakni karakter kompetitif dan karakter inovatif.
Karakter kompetitif memiliki esensi sebuah mentalitas dan watak yang mendorong adanya semangat belajar yang tinggi. Pembudayaan karakter ini akan mendorong minat untuk terus melakukan pembelajaran dalam memahami sekaligus mengatasi persoalan yang dihadapi. Karakter kompetitif adalah antagonis atau lawan dari ’budaya instan’, karena karakter kompetitif akan mendorong adanya upaya perbaikan secara terus menerus dan bertahap ketika menghadapi persaingan yang semakin berat. Dalam kenyataannya, hanya dengan karakter kompetitiflah suatu bangsa dapat mempertahankan keunggulan daya saingnya. Bahkan di era knowledge based economy, dengan karakter kompetitiflah, suatu bangsa mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka.
Karakter inovatif adalah watak dan mentalitas yang selalu mendorong individu dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai hal. Pada hakekatnya inovasi hanya dapat diciptakan setelah melalui serangkaian proses belajar secara kolektif, atau lazim dikenal dengan learning curve. Bangsa yang maju dan modern memiliki sejumlah learning curve yang dapat menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya proses inovasi. Mentalitas inovasi tidak lepas dari proses belajar, termasuk belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalu.
Hal ketiga adalah pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasikan kedua aspek diatas yakni re-aktifasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pembangunan. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.
Maka membangun karakter bangsa untuk mencapai kemandirian, harus diarahkan pada perbaikan dan penyempurnaan mekanisme institusional. Untuk melakukan penyempurnaan mekanisme institusional ini, maka pemerintah telah memberikan perhatian besar dalam pengembangan dunia pendidikan nasional. Pendidikan yang baik dan produktif merupakan sarana paling efektif untuk membina dan menumbuhkembangkan karakter bangsa yang positif. Di samping juga peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, yang dapat mengantarkan bangsa kita mencapai kemakmuran.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai agenda penting dalam pembangunan nasional, sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja pemerintah. Komitmen pemerintah ini ditunjukkan dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk pembangunan sektor pendidikan.
Sampai dengan pertengahan tahun 2007 pembangunan dunia pendidikan telah mencapai kemajuan pesat. Kemajuan pendidikan ditunjukan antara lain oleh peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM), serta penurunan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas. Hingga tahun 2006 APM untuk jenjang SD/MI/Paket A setara SD dan yang sederajat, telah mencapai 94,7% dan ditargetkan pada tahun 2007 menjadi 94,8%. Kemajuan pendidikan untuk jenjang SMP/MTs/Paket B setara SMP dan yang sederajat ditunjukan oleh APK yang pada tahun 2006 telah mencapai 88,7% dan diharapkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 91,75%. Demikian juga APK untuk jenjang SMA/SMK/MA/SMALB/Paket C setara SMA, pada tahun 2006 meningkat menjadi 60,2%. Sedangkan untuk jenjang pendidikan tinggi, kemajuan pendidikan dicerminkan oleh APK yang hingga tahun 2006 telah mencapai 16,7%.
Untuk meningkatkan partisipasi pendidikan, pemerintah terus melanjutkan penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, antara lain melalui penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar. Penyaluran BOS pada tahun 2006 telah mencakup 39,8 juta siswa dengan dana sebesar Rp10,2 triliun, sedangkan pada tahun 2007 program ini mencakup 41,3 juta siswa dengan alokasi dana sebesar Rp11,6 triliun.
Untuk mendukung program peningkatan akses dan perluasan pemerataan pendidikan, pemerintah terus melanjutkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diprioritaskan untuk wilayah perdesaan dan terpencil, yang ditempuh antara lain melalui pembangunan SD-SMP Satu Atap dan Pembangunan unit sekolah baru. Selain itu, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pendidik melalui: peningkatan kualifikasi akademik bagi 172.000 guru untuk mengikuti pendidikan sarjana (S1) atau Diploma-4 serta sertifikasi untuk guru; serta penyediaan berbagai tunjangan guru sebagaimana diamanatkan dalam UU NO. 14 Tahun 2005 tentang Guru, Dosen dan Tenaga Pengajar pada umumnya.
Seluruh aktifitas di atas, ditujukan untuk menyempurnakan mekanisme instusional nasional dalam mengakselerasi pembinaan karakter bangsa yang positif yang akan memacu tercapainya bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Penutup
Kemerdekaan adalah proses pembebasan politik dari penjajahan asing. Pascakemerdekaan adalah masa berlanjutnya proses pembebasan sosial masyarakat dari kemiskinan, ketakpedulian, kebodohan, ketergantungan, dan berbagai bentuk kendala yang membatasi masyarakat dalam berinovasi, mengembangkan pilihan-pilihan sah, dan dalam menghadapi masa depan.
Kedua hal di atas menuntut adanya perjuangan dan kerja keras yang dijiwai oleh karakter unggul. Pengembangan karakter unggul sebuah bangsa adalah kombinasi positif dari berbagai upaya yang difasilitasi oleh suatu mekanisme institusional yang baik. Aktualisasi dari mekanisme institusional adalah memajukan dunia pendidikan, khususnya yang diarahkan pada pembinaan karakter bangsa. Pemerintah dalam kaitan ini telah memberikan komitmennya yang besar untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan akan dilakukan secara seimbang yaitu dengan tetap mempertahankan aspek positif yang telah ada dan ditambahkan dengan yang baru, selanjutnya disinergikan dengan dinamika dan tuntutan global, khususnya dalam meningkatkan daya saing.
Memaknai kemerdekaan dari perspektif pembinaan karakter bangsa mengandung arti bahwasanya karakter bangsa tidak saja menentukan kemampuan sebuah bangsa untuk hidup mandiri, akan tetapi lebih dari itu, karakter bangsa bahkan menentukan jalan hidup dan nasib bangsa tersebut.
Sumber :
M. Hatta Rajasa
Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=738&Itemid=135
15 Agustus 2009
Sumber Gambar:
http://blog.unila.ac.id/syarief/files/2009/07/presentation12.jpg
Sabtu, 04 April 2009
Jumat, 20 Maret 2009
SEKILAS TENTANG AJARAN DEMOKRASI
Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan negara di Eropah dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/negara berdasarkan Hukum/Kedaulatan Tuhan. Penyelewengan paham Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan negara-negara di Eropah mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana. Ditengah situasi kegelapan yang melanda Eropah inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan. Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).
Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini mengatakan bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat. Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi. Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kenyataan kehidupan umat manusia. Adalah bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat.
Benturan yang tidak terdamaikan antara Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang bersifat mutlak dan langsung) dengan kenyataan empirik kehidupan manusia (yang sedikit memerintah yang banyak), ditambah lagi sebagai akibat perkembangan lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup wilayah luas serta perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya dan tingkat kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang terpenting dan merupakan awal menuju kearah demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai kini, adalah dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad XIII (1265).
Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan negara.
Untuk menentukan siapakah individu-individu rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :
1. Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;
2. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat pemilih.
Kemudian hari tata-cara dan model Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang menjadi model-model pemilihan yang bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri di atas.
Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan dari penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.
Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi perwakilan :
- Sumbernya:Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad XIX)
- Sejarahnya: Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.
- Tujuannya: Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya.
- Mekanismenya: Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik.
- Sarananya: Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai.
- Pembedanya: Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu : (1). sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2). sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
- Mottonya: Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.
Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi berkembang dari waktu ke waktu dan berkembang sesuai pula dengan kebutuhan suatu negara tertentu, sejalan dengan ucapkan Mac Iver , “..apa yang kita sebut demokrasi adalah hanya sebuah permulaan dan bukan sesuatu yang bersifat final….”. Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan.
Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat pada masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Namun semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu :
1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat ;
2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum
4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.
Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.
Diantara ke-4 prinsip Model Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara Mayoritas yang paling banyak mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam berbagai aspek, terutama dalam hal aspek kualitas intelektualitasnya, sehingga keputusan yang diambil dengan suara mayoritas (kuantitatif) sama sekali tidak menjamin keputusan itu adalah baik atau benar.
2. Prinsip Suara Mayoritas bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Agama Islam, dimana pada Kitab Suci Al Qur’an terdapat cukup banyak ayat-ayat yang bernada negatif atau bahkan mengecam prinsip suara terbanyak ini, seperti sebagian contoh ayat-ayat Al Qur’an dibawah ini :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al Anam [6]: 116)
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. (QS. Asy-Syu’ara [26]: 103)
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.(QS. Al A’raaf [7]: 102)
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS. Al A’raaf [7]: 131)
Sumber :
Yara, M. 2006. Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia. Makalah Pembicara Panel Pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”. Komisi Kebudayaan Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Jakarta.
http://markaskio.files.wordpress.com/2007/06/mencari_model_demokrasi_ala_indonesia.doc
Sumber Gambar :
http://i36.tinypic.com/beg3km.jpg
Senin, 09 Maret 2009
TINJAUAN PEMILU DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
The ballot is stronger than the bullet - Kekuatan Pemilu lebih dahsyat daripada peluru. (Abraham Lincoln)
KabarIndonesia - Sejak awal berdirinya negara Indonesia enam puluh tiga tahun silam, keinginan meneguhkan demokrasi sebagai bingkai pelakasanaan pemerintahan telah diretas. Suatu negara dipandang demokratis bilamana memiliki setidaknya tiga unsur.
Pertama, UU yang menjamin hak-hak politik warga negara. Kedua, pers yang bebas. Ketiga, Pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Banyak pengamat yang menilai bahwa kehidupan demokrastis di Indonesia dimulai semenjak kaum muda mengambil alih kedudukan Mr. Kasman Singodimedjo sebagai ketua KNIP, dengan menempatkan Sutan Sjahrir sebagai pengganti. Proses demokratisasi diawali dengan keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X, Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, hingga pergantian sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer 15 Nopember 1945.
Sutan Sjahrir yang memangku jabatan perdana menteri, mengagendakan pelaksanaan Pemilu bulan Januari 1946. Namun agenda tersebut hingga jatuhnya kabinet Sajhir 1947 tidak pernah terwujud. Menurut analisa WF. Wertheim, “Adalah kekhawatiran Sutan Sjahrir sebagai pemimpin Partai Sosialis memiliki prediksi bila pemilu dilaksanakan tahun tersebut, Masyumi yang menjadi satu-satunya wadah organisasi Islam dengan jumlah anggota yang besar akan memperoleh 80 suara (WF. Werthem, 1971)." Agenda pemilu tertunda hingga berlangsungnya pemerintahan United State of Indonesia (USI) 1949-1950.
Pemilu Masa Demokrasi Liberal
Kabinet Natsir, merupakan kabinet pertama di masa demokrasi liberal, kendati pun disebut sebagai Kabinet Akhli (Zaken Cabinet). Namun tidak mampu melaksanakan pemilu. Begitu pula tiga kebinet setelahnya, yakni Kabinet Sukiman, Wilopo dan Ali Sastroamidjojo. Agenda pemilu yang telah tertunda sepuluh tahun baru dapat dilaksanakan masa kabinet Burhanuddin Harahap. yang mengacu pada UUD Sementara (UUD S) pasal 1 ayat 2.
Pada Pemilu pertama ini memiliki dua agenda, pertama memilih wakil rakyat di DPR tanggal 29 Sepetember dan kedua memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Proses dan hasil pemilu pertama ini memunculkan beberapa kejutan dan kekecewaan.
Jumlah partai bertambah banyak dari 20 menjadi 28. Tetapi hanya empat partai yang mendapat kursi di atas yang siginifikan, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI. Perolehan 34 kursi PKI di parlemen mengejutkan banyak pihak, terutama bila dihubungkan dengan peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Harapan akan terciptanya suasana yang mengindikasikan konstelasi baru dalam tatanan pemerintahah. Begitu pula dengan hasil pemilihan Majelis Konstituante, di mana hingga tahun 1959, terbaca dengan jelas Majelis Konstitunate tidak berhasil membuat draft rancangan UUD baru pengganti UUDS.
Pemilu Masa Demokrasi Pancasila
Munculnya pemerintahan Orde Baru 1966, telah menumbuhkan harapan tinggi akan berlangsungnya tatanan kehidupan negara dan pemerintahan yang jauh lebih demokratis dari sebelumnya. Secara perlahan harapan tersebut berjalan surut. Demokrasi Pancasila yang dibangun, pada kenyatan telah mematikan tiga unsur demokrasi.
Pertama, UUD 45 dan Pancasila diposisikan sebagai sesuatu yang disakralkan. Kedua, Pers mengalami pengekangan secara sistematis. Masa Orde Baru bisa dikatakan “mimpi buruk” (night mare) bagi media massa, karena identik dengan pembredelan dan tindakan refresif yang berlebihan. Pelaksanaan pemilu, yang berlangsung selama enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), masyarakat dengan mudah menempatkan Golkar sebagai pemenang, sementara dua partai peserta pemilu (PPP dan PDI), keberadaannya di tengah perhelatan tersebut, tidak lebih dari sekedar pelengkap yang telah direkayasa.
Tidaklah keliru bilamana Bill Liddle mengungkapkan, ”Pemilu yang dilaksanakan sepanjang rezim Orde Baru, lebih merupakan selebresi demokrasi yang artificial, tidak menyentuh substansinya. Bahkan untuk sebuah demokrasi prosedural pun jauh dari memenuhi persyaratan, karena pemilu yang berlangsung secara tidak fair, penuh kecurangan, pemaksaan kehendak bahkan intimidasi.“ (R. William Liddle, 2008).
Penyimpangan tiga unsur kehidupan demokrasi, yang bermuara pada maraknya KKN, telah melemahkan kewibawaan pemerintah, sekaligus hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Munculnya krisis moneter regional, telah menjadi pemicu munculnya gerakan reformasi, yang berujung pada anti klimaks pemerintah Orde Baru dengan tidak hormat.
Pemilu di Masa Reformasi
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.
Hantu Pemilu
Tidak ada satu perhelatan tanpa adanya sesuatu yang ditakutkan (hantu). Dalam pemilu di Indonesia apa yang menjadi hantu dan menghantui banyak pihak saat hal tersebut dilakukan. Dalam pemilu masa demokrasi liberal, banyak pihak dihantui rasa takut. Ketakutan yang dimaksud adalah terjadinya gangguan keamanan berkaitan dengan DI/TII dan gerakan sparatisme lainnya.
Namun hal tersebut tidak terjadi. Sementara dalam pemilu masa Orde Baru, kekhawairan menghantui pihak pemerintah, yakni bertambahnya suara dari dua parpol (PPP dan PDI) dan diresponnya seruan Golput. Sedangkan Pemilu era Reformasi terutama pemilu 2009, yang hanya menyisakan waktu dalam hitungan hari, dihantui oleh sejumlah permasalahan yang sangat tidak sederhana.
Adapun ketakutan tersebut antara lain, ketidaksiapan KPU pusat dan daerah, menurunnya partisipasi masyarakat akibat adanya seruan Golput, terjadinya bencana alam, dan munculnya terorisme sekaligus munculnya ketidakpuasaan dari kontestan pemilu baik proses maupun hasil. Kendati pun demikian, kita berharap semoga kekhawatiran yang dimungkinkan menghantui banyak pihak dapat diminimalisir.
Apa yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln di atas, memiliki dua sisi yang akan menjadi tolak ukur kekinian kehidupan demokrasi khususnya di Indonesia. Pertama, jika pemilu sukses, akan makin mematangkan hidup dan kehidupan demokrasi. Kedua, jika Pemilu gagal, mengindikasikan bahwa gerakan reformasi politik menuju pada gelombang surut, sekaligus gagalannya bangsa Indonesia memaknai demokrasi. (*)
Sumber :
Iwan R Jayasetiawan
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
www.kabarindonesia.com
09 Maret 2009
Sumber Gambar: http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1)%20Pemilu/4)%20Pemilu%20tahun%202009/01.%20Gambar%20Bendera%20Peserta%20Partai%20Politik%202009.JPG
FORMAT BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA
Federal
Benarkah format bentuk negara kesatuan yang dirumuskan para founding fathers kita di awal kemerdekaan itu sudah final? Padahal bentuk negara tandingannya yakni bentuk negara federal mendapat tempat dan diskursus publik yang tidak fair. Benturan wacana di masyarakat bahwa bentuk negara kesatuan yang dianggap menyatukan bangsa Indonesia, sedangkan bentuk negara federal dianggap membagi-bagi/memecah belah bangsa. Kemudian dengan alasan yang dianggap cukup kuat di masa awal kemerdekaan yakni mengkonsolidasikan kekuasaan ke pusat, wacana negara kesatuan memenangkan tempat untuk digunakan sebagai format bentuk negara.
Akan tetapi, layakkah kita menjustifikasi bahwa negara federal itu memecah belah bangsa? Memang bentuk federal akan membagi Indonesia menjadi negara-negara bagian, dan negara federal, tetapi tidak serta-merta memecah belah bangsa. Sebenarnya anggapan federal akan memecah belah bangsa ini muncul karena yang mensosialisasikan ide federasi itu adalah Van Mook yang orang Belanda di tahun 1949. Penerapan ini terkait dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Sedangkan Indonesia masih secara mencurigai dan menganggap buruk Belanda – termasuk gagasan Belanda. Ada indikasi bahwa spirit anti-belanda yang cukup kuat di Indonesia, barangkali hingga sekarang. Lain halnya jika bukan Van Mook yang mensosialisasikan format federal ini, tentu saja format ini mendapat tempat yang fair untuk dikaji dan dibandingkan secara obyektif.
Tanpa bermaksud menafikan upaya konsolidasi kekuasaan yang dilakukan pada saat wacana bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara Indonesia.
Tetapi kita cenderung melihat perkembangan bangsa yang terancam disintegrasi ini sebagai alasan kuat pertimbangan terhadap bentuk federal. Kita memahami bahwa kekuasaan itu tersebar dalam berbagai aktor. Indonesia yang dari sisi aktor memiliki keragaman, jika dipilah secara wilayah, ada aktor pusat dan aktor daerah, aktor daerah tentu saja tidak menghendaki pemusatan kekuasaan. Kejenuhan mereka pun akhirnya booming, salah satunya melalui separatisme. Dulu di jaman pemerintahan Soeharto dianggap hanya ekses politik di daerah yang kurang diperhatikan, tetapi akumulasi ekses ini malah menimbulkan masalah yang lebih besar bagi keutuhan bangsa.
Maka dari itu, bentuk federal patut dipertimbangkan sebagai jalan tengah antara mengurangi ketidak-adilan dengan upaya menjauhkan disintegrasi bangsa. Pertimbangan Romo Mangun Wijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat, memberikan ide Bhineka tunggal ika dengan pernyataan, demi ke-tunggal-an RI itulah, ke-bhineka-an federal dalam abad 21 harus dibentuk.
Hanya saja dari sisi substansi, sesungguhnya wacana otonomi daerah seluas-luasnya pun banyak dibaca hampir sama dengan federal. Sebagainya pendapat Prof. Ryass Rasyid dan Prof. Dr Ichlasul Amal. Dengan kata lain, bentuk negara kesatuan dengan prinsip wewenang ditransfer ke daerah. Tetapi pendapat ini menjadi bias karena transfer kewenangan daerah dalam negara kesatuan itu dilimpahkan dari pusat ke daerah. Sedangkan dalam negara federal pelimpahan itu dari daerah ke pusat. Jadi kemudian, tidak mengherankan terjadi ambiguitas di daerah terkait wewenangnya yang seolah dibatasi dengan perumusan dari pusat (DAU,DAK,dsb), atau multi interpretasi yang terjadi karena batasan wewenang tidak jelas. Singkatnya, Diberikan batasan oleh pusat akan membatasi daerah, tetapi jika tak dibuat patokan akan diinterpretasi berbeda-beda. Maka dapat dipastikan fenomena seperti ini masih akan terus terjadi.
Sistem Presidensiil
Dalam hal sistem pemerintahan, saya berpendapat bahwa sistem presidensiil masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengacu pada sejarah parlementarian di Indonesia yang malah menimbulkan ketidak-stabilan sistem politik. Representasi dalam lembaga parlemen (legislatif) di Indonesia begitu proporsional dengan basis kemajemukan yang beragam. Sehingga dalam mengagregasikan kepentingan di lembaga legislatif sangat ditentukan oleh kompromi-kompromi yang berimbas pada kekurang-efektifan sistem pemerintahan (sistem parlementer).
Selain itu, secara empirik kekuasaan presiden cukup kuat di Indonesia. Dapat kita lihat pada Soekarno yang memiliki basis dukungan menyeluruh dari seluruh masyarakat, beliau sempat merasakan parlementer yang “membatasi” gerak kekuasaanya. Tetapi kemudian, secara menakjubkan namun mungkin terjadi Beliau dapat membentuk lembaga perwakilan. Meskipun akhirnya, terlalu kuat pun menimbulkan masalah bagi bangsa. Begitu juga Soeharto yang tak diragukan lagi kekuasaannya selama 32 tahun. Dengan catatan yang sama, terlalu kuat menimbulkan masalah yang sama yakni otoriter. Namun, pemerintahan SBY di era transisi demokrasi sekarang ini pun patut menjadi catatan. Bahwa ada kecenderungan parlemen (DPR) lebih kuat dari presiden yang diekspresikan dengan sikap peragu, dan cenderung kompromistis dari SBY dalam membuat kebijakan. Yang perlu digaris bawahi pula, basis dukungan SBY di parlemen memang tidak terlalu besar, menjadi wajar bila terdapat “rongrongan politik” dari pesaing politiknya di legislatif,utamanya.
Sebagai akhir, bahwasanya signifikansi dan relevansi sistem presidensiil di Indonesia secara empirik menguatkan keyakinan kita akan penerapan sistem tersebut. Walaupun kita mesti mencermati catatan tersebut dengan baik melalui regulasi yang dapat membatasi meluapnya kekuasaan presiden. Idealnya, presiden pun seharusnya memiliki basis dukungan yang kuat di masyarakat dan lembaga perwakilan.
Sumber :
http://soodhy.wordpress.com/2007/09/17/format-bentuk-negara-dan-sistem-pemerintahan-yang-cocok-untuk-indonesia/
9 Maret 2009
Sumber Gambar :
http://akbartandjung.com/gambar/article/content/783/Bendera_Indonesia_27e203_480.jpg
Langganan:
Postingan (Atom)