Senin, 09 Maret 2009

FORMAT BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA


Federal
Benarkah format bentuk negara kesatuan yang dirumuskan para founding fathers kita di awal kemerdekaan itu sudah final? Padahal bentuk negara tandingannya yakni bentuk negara federal mendapat tempat dan diskursus publik yang tidak fair. Benturan wacana di masyarakat bahwa bentuk negara kesatuan yang dianggap menyatukan bangsa Indonesia, sedangkan bentuk negara federal dianggap membagi-bagi/memecah belah bangsa. Kemudian dengan alasan yang dianggap cukup kuat di masa awal kemerdekaan yakni mengkonsolidasikan kekuasaan ke pusat, wacana negara kesatuan memenangkan tempat untuk digunakan sebagai format bentuk negara.

Akan tetapi, layakkah kita menjustifikasi bahwa negara federal itu memecah belah bangsa? Memang bentuk federal akan membagi Indonesia menjadi negara-negara bagian, dan negara federal, tetapi tidak serta-merta memecah belah bangsa. Sebenarnya anggapan federal akan memecah belah bangsa ini muncul karena yang mensosialisasikan ide federasi itu adalah Van Mook yang orang Belanda di tahun 1949. Penerapan ini terkait dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Sedangkan Indonesia masih secara mencurigai dan menganggap buruk Belanda – termasuk gagasan Belanda. Ada indikasi bahwa spirit anti-belanda yang cukup kuat di Indonesia, barangkali hingga sekarang. Lain halnya jika bukan Van Mook yang mensosialisasikan format federal ini, tentu saja format ini mendapat tempat yang fair untuk dikaji dan dibandingkan secara obyektif.
Tanpa bermaksud menafikan upaya konsolidasi kekuasaan yang dilakukan pada saat wacana bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara Indonesia.

Tetapi kita cenderung melihat perkembangan bangsa yang terancam disintegrasi ini sebagai alasan kuat pertimbangan terhadap bentuk federal. Kita memahami bahwa kekuasaan itu tersebar dalam berbagai aktor. Indonesia yang dari sisi aktor memiliki keragaman, jika dipilah secara wilayah, ada aktor pusat dan aktor daerah, aktor daerah tentu saja tidak menghendaki pemusatan kekuasaan. Kejenuhan mereka pun akhirnya booming, salah satunya melalui separatisme. Dulu di jaman pemerintahan Soeharto dianggap hanya ekses politik di daerah yang kurang diperhatikan, tetapi akumulasi ekses ini malah menimbulkan masalah yang lebih besar bagi keutuhan bangsa.

Maka dari itu, bentuk federal patut dipertimbangkan sebagai jalan tengah antara mengurangi ketidak-adilan dengan upaya menjauhkan disintegrasi bangsa. Pertimbangan Romo Mangun Wijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat, memberikan ide Bhineka tunggal ika dengan pernyataan, demi ke-tunggal-an RI itulah, ke-bhineka-an federal dalam abad 21 harus dibentuk.

Hanya saja dari sisi substansi, sesungguhnya wacana otonomi daerah seluas-luasnya pun banyak dibaca hampir sama dengan federal. Sebagainya pendapat Prof. Ryass Rasyid dan Prof. Dr Ichlasul Amal. Dengan kata lain, bentuk negara kesatuan dengan prinsip wewenang ditransfer ke daerah. Tetapi pendapat ini menjadi bias karena transfer kewenangan daerah dalam negara kesatuan itu dilimpahkan dari pusat ke daerah. Sedangkan dalam negara federal pelimpahan itu dari daerah ke pusat. Jadi kemudian, tidak mengherankan terjadi ambiguitas di daerah terkait wewenangnya yang seolah dibatasi dengan perumusan dari pusat (DAU,DAK,dsb), atau multi interpretasi yang terjadi karena batasan wewenang tidak jelas. Singkatnya, Diberikan batasan oleh pusat akan membatasi daerah, tetapi jika tak dibuat patokan akan diinterpretasi berbeda-beda. Maka dapat dipastikan fenomena seperti ini masih akan terus terjadi.

Sistem Presidensiil
Dalam hal sistem pemerintahan, saya berpendapat bahwa sistem presidensiil masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengacu pada sejarah parlementarian di Indonesia yang malah menimbulkan ketidak-stabilan sistem politik. Representasi dalam lembaga parlemen (legislatif) di Indonesia begitu proporsional dengan basis kemajemukan yang beragam. Sehingga dalam mengagregasikan kepentingan di lembaga legislatif sangat ditentukan oleh kompromi-kompromi yang berimbas pada kekurang-efektifan sistem pemerintahan (sistem parlementer).

Selain itu, secara empirik kekuasaan presiden cukup kuat di Indonesia. Dapat kita lihat pada Soekarno yang memiliki basis dukungan menyeluruh dari seluruh masyarakat, beliau sempat merasakan parlementer yang “membatasi” gerak kekuasaanya. Tetapi kemudian, secara menakjubkan namun mungkin terjadi Beliau dapat membentuk lembaga perwakilan. Meskipun akhirnya, terlalu kuat pun menimbulkan masalah bagi bangsa. Begitu juga Soeharto yang tak diragukan lagi kekuasaannya selama 32 tahun. Dengan catatan yang sama, terlalu kuat menimbulkan masalah yang sama yakni otoriter. Namun, pemerintahan SBY di era transisi demokrasi sekarang ini pun patut menjadi catatan. Bahwa ada kecenderungan parlemen (DPR) lebih kuat dari presiden yang diekspresikan dengan sikap peragu, dan cenderung kompromistis dari SBY dalam membuat kebijakan. Yang perlu digaris bawahi pula, basis dukungan SBY di parlemen memang tidak terlalu besar, menjadi wajar bila terdapat “rongrongan politik” dari pesaing politiknya di legislatif,utamanya.

Sebagai akhir, bahwasanya signifikansi dan relevansi sistem presidensiil di Indonesia secara empirik menguatkan keyakinan kita akan penerapan sistem tersebut. Walaupun kita mesti mencermati catatan tersebut dengan baik melalui regulasi yang dapat membatasi meluapnya kekuasaan presiden. Idealnya, presiden pun seharusnya memiliki basis dukungan yang kuat di masyarakat dan lembaga perwakilan.

Sumber :

http://soodhy.wordpress.com/2007/09/17/format-bentuk-negara-dan-sistem-pemerintahan-yang-cocok-untuk-indonesia/
9 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://akbartandjung.com/gambar/article/content/783/Bendera_Indonesia_27e203_480.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar